Alasan kami berkata seperti itu sebab ungkapan "pahlawan tanpa tanda jasa" merupakan sebuah warisan dari zaman kolonial serta masa perjuangan kemerdekaan di negeri ini.
Untuk menjelaskan hal tersebut, kami akan mengajak anda untuk kembali ke masa lalu dimana pendidikan maasih menjadi sesuatu yang sulit untuk didapatkan oleh penduduk pribumi.
Di zaman kolonial ketika pemerintah Hindia Belanda memberikan kesempatan kepada kaum bangsawan dan priyayi untuk belajar pada akhirnya melahirkan tokoh-tokoh cendekia yang terdidik, meskipun kondisinya masih sangat jauh dari harapan.
Ki Hajar Dewantara Sebagai Salah Satu Tokoh Tiga Serangkai |
Akan tetapi para tokoh yang disekolahkan di Sekolah Rakyat tersebut seiring perjalanan waktu memutuskan bersekolah di luar negeri, terutama di Belanda.
Mereka yang bersekolah disana akhirnya mengetahui bahwa penduduk Nusantara yang terpecah belah sedang berada dalam kendali kekuasaan segelintir orang yang mencari muka untuk memakmurkan Kerajaan Belanda.
Dengan bertambahnya populasi kaum terdidik, mereka secara perlahan "menurunkan ilmu" dan pengetahuan kepada teman, kerabat dan keluarganya.
Mereka mulai menanamkan rasa nasionalisme sehingga pada akhirnya menyebabkan timbulnya kelompok-kelompok yang melakukan pergerakan, baik secara sembunyi-sembunyi maupun blak-blakan.
Dari ilustrasi kami di atas, tentunya anda bisa memahami salah satu motivasi yang menyebabkan timbulnya kalimat "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa".
Ya,...para kaum cendekia dan terdidik yang "menurunkan ilmu" kepada masyarakat itulah yang disebut sebagai salah satu pahlawan tanpa tanda jasa.
Mereka mengajar secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan semata-mata ingin membantu mencerdaskan orang-orang yang ada di sekitar mereka dengan tujuan supaya mereka bisa mulai sadar bahwa nasibnya dikendalikan oleh orang asing.
Lalu kenapa sebutan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa dikaitkan dengan guru? Seperti yang sudah kami sebutkan sebelumnya bahwa para kaum cendekia yang "menurunkan ilmu" tersebut pada akhirnya dianggap sebagai orang penting oleh orang-orang yang mendapatkan pengajaran atau informasi.
Kebiasaan tersebut selanjutnya menimbulkan sebuah sebutan Guru, dan seiring perkembangan zaman kebiasaan mengajar di Belanda dibawa oleh mereka yang belajar di Negeri Kincir Angin tersebut.
Guru di zaman perjuangan serta guru di era orde lama memang memiliki nasib yang bisa disebut kurang beruntungan dikarenakan kondisi perekonomian waktu itu masih dalam tahap persiapan dan penataan.
Kondisi perekenomian yang belum tertata dengan baik tersebut menyebabkan kesejahteraan para pegawai negara (termasuk guru) masih jauh dari kata layak.
Kala itu delman/andong/sado tentunya merupakan salah satu kendaraan umum yang elit, sebab hanya orang-orang dari kalangan darah biru yang sanggup mengendarainya.
Begitu juga dengan sepeda onthel. Kendaraan super sederhana ini pada waktu itu merupakan sebuah kendaraan mewah yang hanya akan ada di rumah-rumah orang kaya dan kaum bangsawan.
Zaman pun terus bergulir, delman dan sepeda onthel yang semula merupakan kendaraan mewah mulai dianggap sebagai kendaraan yang tidak masuk kategori mewah, sehingga mulai bermunculan masyarakat yang sanggup membeli dan menggunakannya sebagai kendaraan pribadi paling populer di masanya.
Salah satu kalangan yang membeli dan menggunakan sepeda onthel adalah guru, secara waktu itu mereka juga dikategorikan sebagai kalangan terpandang dan banyak berasal dari kaum bangsawan atau darah biru.
Mereka (para guru) menggunakan sepeda tersebut sebagai kendaraan utama untuk berangkat ke sekolah.
Tapi lagi-lagi waktu tidak bisa dikejar, zaman terus berkembang dan sepeda onthel mulai kehilangan pamor sebagai kendaraan pribadi para guru. Selain itu juga perkembangan zaman tersebut kurang memperhatikan kesejahteraan guru dikarenakan kondisi perekonomian negara yang masih belum tentu arahnya (untuk mengetahui sejarah perekonomian Indonesia, silahkan kunjungi historia.id).
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap para pegawai negara (termasuk guru) menyebabkan mereka berada di bawah tingkat kesejahteraan yang layak.
Kondisi seperti itu berjalan lumayan lama, bahkan hingga memasuki berakhirnya era orde baru nasib guru masih seringkali menyebabkan mereka harus hidup kurang sejahtera.
Dan diantara masa-masa itulah akhirnya timbul sebuah metafora yang masih populer hingga saat ini, yakni Guru, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa.
Bagaimana, sudah mulai mendapatkan secercah informasi.
Metafora tersebut pun diperparah dengan keadaan dimana pemerintah sangat jarang memberikan penghargaan sebagai pahlawan kepada para guru yang notabene ikut berjuang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan.
Kami melihat bahwa tidak diberikannya penghargaan berupa gelar "Pahlawan" kepada guru mungkin karena disebabkan oleh peran dan kegiatan guru itu sendiri yang tidak terlibat langsung dalam peperangan melawan penjajah. Sebab di masa itu (bahkan hingga sekarang) gelar pahlawan itu lebih banyak diberikan kepada orang-orang yang berkecimpung dalam bidang militer.
Tapi menurut opini kami, diberikan atau tidaknya gelar Pahlawan tersebut seharusnya tidak membuat orang yang berprofesi sebagai guru menuntut gelar sebagai Pahlawan, sebab kami melihat bahwa saat ini sebagian besar guru di Indonesia terkesan hidup dalam kondisi yang lebih sejahtera.
Selain itu juga kondisi negara yang kondusif sangat memungkinkan para guru untuk hidup lebih sejahtera dengan mencari sumber kenyamanan dan kebahagiaan di luar profesinya sebagai guru.
Mungkin itu penjelasan dari kami mengenai alasan kenapa guru disebut sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Semoga artikel ini memberikan tambahan manfaat, informasi, wawasan, pengetahuan, pengalaman dan hiburan untuk kita semua. Amin.
Akhir kata kami ucapkan terima kasih atas atensi dan kunjungan anda, sampai jumpa di kesempatan yang akan datang dengan informasi unik dan bermanfaat lainnya.